PPSI,
OHD dan Masa Depan Seni Rupa Indonesia
Oleh: hendrotan
Ketika kamu berhadapan dengan musuhmu,
taklukkan mereka dengan cinta- Mahatma
Gandhi
Sejak April 2012 awan hitam –– baca gonjang-ganjing
lukisan yang diragukan keasliannya ( ? ) karya para maestro Hendra Gunawan, S.Sudjojono
dan Soedibio koleksi MUSEUM OHD Magelang –– yang menggelayut di atas langit
seni rupa Indonesia belum juga beranjak pergi. Bahkan sekelompok kolektor, art broker, pemain pasar dan
pemerhati senirupa yang berhimpun dalam wadah PPSI ( Perkumpulan Pecinta Seni
rupa Indonesia ), yang lahir di tengah suasana awan hitam itu, mencoba terus mengawal
agar terkuak ”kebenaran” di baliknya atau
setidaknya mereka ingin mengabdikan diri pada tanah air dengan meletakan
peradaban seni rupa Indonesia ditempat yang benar dan mereka berani berkata
”tidak” bagi lukisan maestro yang palsu.
Sebagai pemilik galeri, memang saya pribadi meragukan
keaslian beberapa lukisan maestro koleksi OHD Museum, seperti yang tergambar di
dalam buku pameran museumnya. Sikap saya ini secara gamblang sudah saya kemukakan
dalam tulisan “Buruk Rupa Seni Rupa Indonesia” di Majalah Visual Arts edisi September–Oktober 2012.
Namun bagi saya OHD (Oei Hong Djien) tetaplah sang
pecinta seni rupa Indonesia kelas wahid yang pernah berjasa sebagai penggerak
pasar seni rupa Indonesia di dalam negeri dan Asia Tenggara. Betapa pun dia telah
melakukan keteledoran yang fatal, sehingga mencoreng nama baiknya sebagai
kolektor seni nomor satu di Asia Tenggara, karena hingga saat ini dia tidak mau
membeberkan provenance –– catatan atau urutan rinci tentang sumber asal
pembeliannya atau riwayat karya sampai ketangannya –– dalam hal ini provenance
lukisan Hendra Gunawan , S.Sudjojono dan Soedibio yang diragukan itu.
Dengan demikian, dalam menyikapi kasus OHD tersebut, saya
kira kita tidak hanya pantas
meragukan beberapa persoalan berikut ini. Pertama, dari segi estetika ( rasa )
dan sudut pandang artistik kekhasan goresan pada lukisan yang diragukan
terlihat tidak sesuai atau ada kelainan yang terkesan aneh, juga dalam hal
warna tampak jauh dari kematangan. Semua ini berdasarkan perbandingan dengan
lukisan–lukisan semasa karya para maestro tersebut yang terdapat dalam koleksi
Taman Budaya Denpasar (art center), koleksi Museum Sejarah Jakarta, beberapa koleksi
Ciputra, satu koleksi Jusuf Wanandi, dan tidak banyak (sedikit sekali ) berada di
rumah para kolektor terpercaya lainnya. Kedua, ketidakwajaran ukuran dan
bahannya, mengingat kelangkaan material lukisan pada masa itu.
Bahkan lebih dari substansi keraguan
itu, demi kepentingan senirupa Indonesia PPSI sebagai lembaga sebaiknya mengajak
Oei Hong Djien bersedia duduk bersama, dan melakukan penelitian seksama pada
keraguan tersebut. Dihadapan masyarakat
senirupa Indonesia tidak boleh ada orang atau lembaga –– sekali pun OHD Museum –– yang
merasa memiliki privilese enggan menerangkan asal usul lukisan tersebut, walau dengan
alasan apa pun.
Dengan keraguan–keraguan itu sudah sewajarnya kita bersikap
kritis yang konsisten, memiliki kepercayaan diri yang kompeten. Dan sehubungan
dengan penerbitan buku PPSI ini, maka buku tersebut seharusnya menjadi kumpulan
catatan atau penampung beda pendapat yang kritis dan bermutu agar memberi peran
dan semacam ”matahari” dalam sejarah seni rupa Indonesia. Dan bukan asal menampang konsensus penggalangan
kecemburuan serta penonjolan ego / syahwat narsis para pihak yang anti OHD,
sebab hal itu tidak akan menemukan kebenaran, bahkan sebaliknya hanya mencederai
rasa keadilan khalayak seni di Indonesia, khususnya di Magelang dan sebagian di
Jogjakarta. Disinilah kebijakan dan keteladanan PPSI diam-diam diuji.
Karena itulah jika buku ini merupakan upaya ke arah sikap
kritis yang dapat mencerahkan atau mencerdaskan masyarakat senirupa Indonesia,
maka setiap orang atau pihak yang terlibat dalam penerbitan harus siap membuka
diri dengan dialog atau berkomunikasi. Lebih jauh dari itu, sudah barang tentu,
kalau kita berani mengkritik, maka siapkan diri juga untuk dikritik; kalau kita
gencar menuntut OHD ”buka kartu”, maka sudah seharusnya pula ( kita pun ) para art
dealer ( broker ) atau pihak balai lelang berani ” buka kartu ”, termasuk
kolektor / investor yang jadi korban para broker pun mau buka mulut, khususnya saat
menerima pertanyaan hingga teguran pada autentisitas berikut provenance karya-karya
pelukis maestro lainnya. Sebutlah, misalnya, sebagian lukisan Nashar yang
termaktub dalam buku yang diterbitkan oleh ASPI dan editor Agus Dermawan T.
disponsori hendrotan, juga beberapa lukisan pada buku Lee Man Fong dan buku Affandi
yang terbitan sebelum prahara OHD Museum maupun ( banyak ) lukisan maestro yang
pernah dijual belikan secara private sale atau pelelangan di pelbagai acara
auction house.
Saya ingin berkata, alangkah mulia bila PPSI dan
orang-orang yang ingin melibatkan diri ”bersih-bersih”, mereka mau ”buka kartu”
kepada masyarakat, dengan memberikan data dan penjelasan bagaimana / darimana
riwayat karya maestro koleksinya. Di negeri ini, sering kali kita melihat,
bagaimana orang-orang getol sekali membersihkan ”kotoran” dengan ”lap yang kotor”.
Dan lap kotor itu kalau dirunut, berasal dari tangan yang kotor pula; Itu
sebabnya, ”kotoran-kotoran” Indonesia, sampai hari ini sulit diberantas.
Kembali ke kasus OHD yang dipersoalkan dalam buku yang
akan diterbitkan tersebut, ini menjadikan sebuah pelajaran yang tak kalah penting, betapa dunia seni rupa Indonesia hari
ini sangat membutuhkan catatan sejarah yang jujur, buku-buku sejarah seni rupa
yang lengkap, yang deretan perupa / seniman dan karya kanonnya disetujui
bersama oleh para kurator dan tokoh akademisi yang kredibel. Disini kita bisa
mempertanyakan sejauh mana peran serta lembaga perguruan tinggi seni, misalnya
ISI, ITB, IKJ dan lain-lain yang selama ini bertanggungjawab mendidik dan
melahirkan para peneliti, hingga pemikir seni.
Selain itu juga diperlukan keberadaan laboratorium
penelitian seni rupa yang modern dan canggih. Yang hasil analisisnya tidak
tergantung pada jari telunjuk atau ibu jari atau mulut kotornya broker dan team
penilai balai lelang, tapi pada analisis ilmiah atau kajian kritis yang
independen dan dilakukan oleh para ahli yang lulusan perguruan tinggi S2 dan S3
di Indonesia atau pun di negara bule disertai ragam reputasinya. Kita berharap
PPSI mau dan mampu melakukan tugas mulia ini demi kecintaannya pada ibu pertiwi,
karena itu PPSI akan menjadi pejuang yang luhur bagi seni rupa
Indonesia di setiap langkah yang ia tempuh. Perlu dicamkan bahwa sungguh tidak
diharapkan keberadaan PPSI jika hanya untuk kasusnya MUSEUM OHD.
Di penghujung kata, semoga dengan terbitnya buku PPSI ini,
selain dapat mengusir awan hitam yang tumpuk
menumpuk membujur di cakrawala senirupa Indonesia, juga dapat menguak kebenaran
di baliknya. Kalau pun tidak berhasil menguak kebenaran, niscaya telah memberi
pembelajaran kebenaran itu sendiri, buku ini akan menjadi dentingan genta yang tak
berjeda menggema di benak siapa pun pelaku seni rupa Indonesia. Pesan Mahatma
Gandhi diawal tulisan ini patut kita jiwai bersama. Sebagai pelengkap satu lagi
pesan Gandhi yang baik untuk kita renungkan adalah, ” Kesalahan tidak akan
menjadi kebenaran walau berulang kali diumumkan. Sebaliknya, kebenaran tidak
akan jadi kesalahan walau tak seorang pun mengetahuinya ” , dan ini kata
filsuf Sun tze ” Kebenaran takkan dapat
disatukan dengan kesalahan, walau itu sekadar kealpaan.”
Bumi Surabaya, 08 Juli 2013. Jam 18.30
----------------------oOo-----------------------
PPSI, OHD and the Future of Indonesian
Art
By: hendrotan
Whenever you are confronted with an opponent,
conquer him with love - Mahatma
Gandhi
Since
April 2012 the black clouds –– the disturbance over some paintings by
Indonesian master painters Hendra Gunawan, S. Sudjojono, and Soedibio in the OHD Museum ’s
collections in Magelang –– haven’t left the sky of Indonesian art yet. A number
of art collectors, art broker, market player and observers even grouped together in an organization called
PPSI (Perkumpulan Pecinta Seni rupa Indonesia, meaning literally ”Association
of Indonesian Art Lovers”), which was born amid the atmosphere of disturbance,
keep trying to guard the process of uncovering the ”truth” about the matter, or
at least they intend to serve the country by positioning Indonesian
”civilization” concerning art on its proper place, and they dare to say ”no” to
faked maestro pieces.
Personally
I as a gallery owner doubt the authenticity of some maestro paintings in the
collections of OHD
Museum as found in an
exhibition book of the Museum. I have already stated this position clearly in
my essay “The Ugly Face of Indonesian Art” in Visual Arts Magazine of the September–October 2012 edition.
Yet for
me OHD (Oei Hong Djien) remains a most important lover of Indonesian art with
his great contribution of activating the market for Indonesian art at home and
in Southeast Asia . This is despite his
blunder, blemishing his good name as a number one art collector in Southeast Asia , of not letting us access the provenance
of the paintings said to be by Hendra Gunawan, S. Sudjojono and Soedibio the
authenticity of which is doubted.
Regarding
this case of OHD I think we do not only
have reasonable doubts about the following. First, in aesthetic and artistic
aspects the characters of the brushing and scratching of the paintings seem
inconsistent or strangely different while the coloring gives the impression of
grave immaturity. I make this remark on the basis of comparison between the
works concerned and the typical works of the master painters in corresponding
periods kept in the collections of Denpasar
Art Center ,
Jakarta Museum of History, Ciputra, Jusuf Wanandi, and, in a very small number,
in the homes of other credible collectors. Second, the sizes and materials for
making the paintings are questionable considering the scarcity of such
materials back then.
Even more important than the doubts per se, for the interest of Indonesian art
the PPSI organization should invite Oei Hong Djien to sit together and make
joint investigation into the doubted matters. Before the Indonesian art community not any person and not any
institution – not even OHD
Museum – may feel,
for whatever reasons, to have the privilege of not giving explanation about
where those paintings come from.
Being
uncertain, it is only natural that we become consistently critical and
competently confident at the same time. And in connection with the publication
of a book by PPSI, it should represent a collection of notes and critical,
reasoned disagreements so that the book may take the role of ”the sun” with
respect to he history of Indonesian art instead of just being a means to show
off shared envy and grudges as well as narcissistic tendency of those who are
against OHD. In the latter case, instead of discovering and upholding what’s
true, we would only hurt the sense of justice on the part of Indonesian art
stakeholders in Magelang particularly and to some extent in Jogjakarta . Here lies a test of PPSI’s wisdom
and exemplarity.
So if
the book represents attempts to develop a critical perspective that may
enlighten to open Indonesian art stakeholders everyone and every party involved
in the publication ought to be ready to open his/her mind through dialogues or
to really communicate. Furthermore, naturally, if we dare to criticize others
we ought to be ready to be criticized; if we insistently ask OHD to ”lay his
cards on the table”, we too, art dealers (brokers) or auction houses have to
dare to do the same and collectors/investors falling victims to certain brokers
ought to speak up, particularly when asked or reproached about the authenticity
and provenance of other works of maestros. Say, for example, some of Nashar’s
works published in a book by ASPI, edited Agus Dermawan T. and sponsored by
hendrotan, and some paintings in books on Lee Man Fong and Affandi prior to the
OHD Museum as well as (a lot of) other maestros ever sold and bought in private
sales and auctions in various events at auction houses.
I want
to say how estimable it will be if PPSI and those who intend to take part in
the ”clean-up” are willing to ”lay down their cards on the table” for all to
see by giving relevant data and explanation about the acquirement of the
maestros in their collections. Here in this country we very frequently how
people very eagerly try to clean up things from ”dirt” by using ”dirty dusters.
And in turn the dirty dusters are provided by dirty hands too. That’s why until
today it’s been hard to clean up Indonesia from ”dirt”.
Back to
the case of OHD, what is discussed in the book to publish will give us an
important lesson of how the world of Indonesian art today badly needs
historical notes that are honest and comprehensive art history books that
contain names of artists along with their canon works justified by credible
curators and academic figures. At this point we may ask questions about the
supposed roles of higher learning institutions for the arts such as ISI
(Indonesian Institute of the Arts), ITB (Bandung Institute of Technology), and
IKJ (Jakarta Arts Institute) responsible for educating and producing
researchers and thinkers of the arts.
We also
need modern and sophisticated laboratories to support studies and research in
art. Then results of studies and analyses shall not depend on the index
fingers, thumbs and assessment teams that work for auction houses. Instead,
they’ll be the outcomes of independent academic analyses and critical studies
done by reputable experts holding the master or even doctorate degree acquired
from universities at home or abroad. Let’s hope that PPSI association will be
willing and able to carry out such honorable task in the name of love for the
country, based on which PPSI will be ever heroically championing Indonesian art
in every step it takes. It needs to be borne well in mind that the
association’s raison d’être should not be just the OHD Museum
case.
Closing this note, I hope that the
publication of PPSI book could remove the black clouds piling over the horizon
of Indonesian art thus revealing the truth hidden as yet. Otherwise, it may at
least introduce points to learn about truths to seek and in this regard the
book may represent the unbroken tolling of a bell to echo in the head of anyone
actively involved in Indonesian art. It will be good for us to internalize
Mahatma Gandhi’s message I quote in opening this essay. As a complement here is
again a quote from Gandhi: ”An error does not become truth by reason of
multiplied propagation, nor does truth become error because nobody sees
it" while the philosopher Sun tzu says
that truth cannot be integrated with
falseness even if it is just a mistake.”
Bumi Surabaya, 9 July 2013
1 comment:
saya cuma ingin menanggapi tulisan dan buntutnya doang.
” Kesalahan tidak akan menjadi kebenaran walau berulang kali diumumkan. Sebaliknya, kebenaran tidak akan jadi kesalahan walau tak seorang pun mengetahuinya ”
daqlam hal ini PPSI bukan melakukan kedua hal diatas cak hendro.
yg dilakukan PPSI itu,
"kesalahan wajib diutarakan agar kesalahan itu tidak terjadi lagi apalagi sampai kesalahan itu jangan sampai kemudian dianggap menjadi kebenaran".
gitu lho cak hendro.
Post a Comment