Sunday, May 18, 2014

PPSI ITU SEKUMPULAN ORANG IDEALIS ATAU MUNAFIK ?


PPSI ITU SEKUMPULAN ORANG IDEALIS ATAU MUNAFIK ?

Tulisan ini telah diposting pada tgl. 8 Juli 2013 dengan tema : 
PPSI, OHD dan Masa Depan Seni Rupa Indonesia  
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


PPSI, OHD dan Masa Depan Seni Rupa Indonesia   
Oleh: hendrotan

Ketika kamu berhadapan dengan musuhmu,
taklukkan mereka dengan cinta- Mahatma Gandhi

Sejak April 2012 awan hitam –– baca gonjang-ganjing lukisan yang diragukan keasliannya ( ? ) karya para maestro Hendra Gunawan, S.Sudjojono dan Soedibio koleksi MUSEUM OHD Magelang –– yang menggelayut di atas langit seni rupa Indonesia belum juga beranjak pergi. Bahkan sekelompok kolektor, art broker, pemain pasar dan pemerhati senirupa yang berhimpun dalam wadah PPSI ( Perkumpulan Pecinta Seni rupa Indonesia ), yang lahir di tengah suasana awan hitam itu, mencoba terus mengawal agar terkuak  ”kebenaran” di baliknya atau setidaknya mereka ingin mengabdikan diri pada tanah air dengan meletakan peradaban seni rupa Indonesia ditempat yang benar dan mereka berani berkata ”tidak” bagi lukisan maestro yang palsu.

Sebagai pemilik galeri, memang saya pribadi meragukan keaslian beberapa lukisan maestro koleksi OHD Museum, seperti yang tergambar di dalam buku pameran museumnya. Sikap saya ini secara gamblang sudah saya kemukakan dalam tulisan “Buruk Rupa Seni Rupa Indonesia” di Majalah Visual Arts edisi September–Oktober 2012.

Namun bagi saya OHD (Oei Hong Djien) tetaplah sang pecinta seni rupa Indonesia kelas wahid yang pernah berjasa sebagai penggerak pasar seni rupa Indonesia di dalam negeri dan Asia Tenggara. Betapa pun dia telah melakukan keteledoran yang fatal, sehingga mencoreng nama baiknya sebagai kolektor seni nomor satu di Asia Tenggara, karena hingga saat ini dia tidak mau membeberkan provenance –– catatan atau urutan rinci tentang sumber asal pembeliannya atau riwayat karya sampai ketangannya –– dalam hal ini provenance lukisan Hendra Gunawan , S.Sudjojono dan Soedibio yang diragukan itu.

Dengan demikian, dalam menyikapi kasus OHD tersebut, saya kira kita tidak hanya pantas meragukan beberapa persoalan berikut ini. Pertama, dari segi estetika ( rasa ) dan sudut pandang artistik kekhasan goresan pada lukisan yang diragukan terlihat tidak sesuai atau ada kelainan yang terkesan aneh, juga dalam hal warna tampak jauh dari kematangan. Semua ini berdasarkan perbandingan dengan lukisan–lukisan semasa karya para maestro tersebut yang terdapat dalam koleksi Taman Budaya Denpasar (art center), koleksi Museum Sejarah Jakarta, beberapa koleksi Ciputra, satu koleksi Jusuf Wanandi, dan tidak banyak (sedikit sekali ) berada di rumah para kolektor terpercaya lainnya. Kedua, ketidakwajaran ukuran dan bahannya, mengingat kelangkaan material lukisan pada masa itu.
                                                                                                                                                                     
Bahkan lebih dari substansi keraguan itu, demi kepentingan senirupa Indonesia PPSI sebagai lembaga sebaiknya mengajak Oei Hong Djien bersedia duduk bersama, dan melakukan penelitian seksama pada keraguan tersebut. Dihadapan masyarakat senirupa Indonesia tidak boleh ada orang atau lembaga –– sekali pun OHD Museum –– yang merasa memiliki privilese enggan menerangkan asal usul lukisan tersebut, walau dengan alasan apa pun.

Dengan keraguan–keraguan itu sudah sewajarnya kita bersikap kritis yang konsisten, memiliki kepercayaan diri yang kompeten. Dan sehubungan dengan penerbitan buku PPSI ini, maka buku tersebut seharusnya menjadi kumpulan catatan atau penampung beda pendapat yang kritis dan bermutu agar memberi peran dan semacam ”matahari” dalam sejarah seni rupa Indonesia. Dan bukan asal menampang konsensus penggalangan kecemburuan serta penonjolan ego / syahwat narsis para pihak yang anti OHD, sebab hal itu tidak akan menemukan kebenaran, bahkan sebaliknya hanya mencederai rasa keadilan khalayak seni di Indonesia, khususnya di Magelang dan sebagian di Jogjakarta. Disinilah kebijakan dan  keteladanan PPSI diam-diam diuji.
                                                                                                                                         
Karena itulah jika buku ini merupakan upaya ke arah sikap kritis yang dapat mencerahkan atau mencerdaskan masyarakat senirupa Indonesia, maka setiap orang atau pihak yang terlibat dalam penerbitan harus siap membuka diri dengan dialog atau berkomunikasi. Lebih jauh dari itu, sudah barang tentu, kalau kita berani mengkritik, maka siapkan diri juga untuk dikritik; kalau kita gencar menuntut OHD ”buka kartu”, maka sudah seharusnya pula ( kita pun ) para art dealer ( broker ) atau pihak balai lelang berani ” buka kartu ”, termasuk kolektor / investor yang jadi korban para broker pun mau buka mulut, khususnya saat menerima pertanyaan hingga teguran pada autentisitas berikut provenance karya-karya pelukis maestro lainnya. Sebutlah, misalnya, sebagian lukisan Nashar yang termaktub dalam buku yang diterbitkan oleh ASPI dan editor Agus Dermawan T. disponsori hendrotan, juga beberapa lukisan pada buku Lee Man Fong dan buku Affandi yang terbitan sebelum prahara OHD Museum maupun ( banyak ) lukisan maestro yang pernah dijual belikan secara private sale atau pelelangan di pelbagai acara auction house.

Saya ingin berkata, alangkah mulia bila PPSI dan orang-orang yang ingin melibatkan diri ”bersih-bersih”, mereka mau ”buka kartu” kepada masyarakat, dengan memberikan data dan penjelasan bagaimana / darimana riwayat karya maestro koleksinya. Di negeri ini, sering kali kita melihat, bagaimana orang-orang getol sekali membersihkan ”kotoran” dengan ”lap yang kotor”. Dan lap kotor itu kalau dirunut, berasal dari tangan yang kotor pula; Itu sebabnya, ”kotoran-kotoran” Indonesia, sampai hari ini sulit diberantas.

Kembali ke kasus OHD yang dipersoalkan dalam buku yang akan diterbitkan tersebut, ini menjadikan sebuah pelajaran yang tak kalah  penting, betapa dunia seni rupa Indonesia hari ini sangat membutuhkan catatan sejarah yang jujur, buku-buku sejarah seni rupa yang lengkap, yang deretan perupa / seniman dan karya kanonnya disetujui bersama oleh para kurator dan tokoh akademisi yang kredibel. Disini kita bisa mempertanyakan sejauh mana peran serta lembaga perguruan tinggi seni, misalnya ISI, ITB, IKJ dan lain-lain yang selama ini bertanggungjawab mendidik dan melahirkan para peneliti, hingga pemikir seni.

Selain itu juga diperlukan keberadaan laboratorium penelitian seni rupa yang modern dan canggih. Yang hasil analisisnya tidak tergantung pada jari telunjuk atau ibu jari atau mulut kotornya broker dan team penilai balai lelang, tapi pada analisis ilmiah atau kajian kritis yang independen dan dilakukan oleh para ahli yang lulusan perguruan tinggi S2 dan S3 di Indonesia atau pun di negara bule disertai ragam reputasinya. Kita berharap PPSI mau dan mampu melakukan tugas mulia ini demi kecintaannya pada ibu pertiwi, karena itu PPSI akan menjadi pejuang yang luhur bagi seni rupa Indonesia di setiap langkah yang ia tempuh. Perlu dicamkan bahwa sungguh tidak diharapkan keberadaan PPSI jika hanya untuk kasusnya MUSEUM OHD. 
     
Di penghujung kata, semoga dengan terbitnya buku PPSI ini, selain dapat mengusir  awan hitam yang tumpuk menumpuk membujur di cakrawala senirupa Indonesia, juga dapat menguak kebenaran di baliknya. Kalau pun tidak berhasil menguak kebenaran, niscaya telah memberi pembelajaran kebenaran itu sendiri, buku ini akan menjadi dentingan genta yang tak berjeda menggema di benak siapa pun pelaku seni rupa Indonesia. Pesan Mahatma Gandhi diawal tulisan ini patut kita jiwai bersama. Sebagai pelengkap satu lagi pesan Gandhi yang baik untuk kita renungkan adalah, ” Kesalahan tidak akan menjadi kebenaran walau berulang kali diumumkan. Sebaliknya, kebenaran tidak akan jadi kesalahan walau tak seorang pun mengetahuinya ” , dan ini kata filsuf Sun tze ” Kebenaran takkan dapat disatukan dengan kesalahan, walau itu sekadar kealpaan.”  

Bumi Surabaya, 08 Juli 2013. Jam 18.30



----------------------oOo-----------------------



PPSI, OHD and the Future of Indonesian Art   
By: hendrotan

Whenever you are confronted with an opponent, conquer him with love - Mahatma Gandhi

Since April 2012 the black clouds –– the disturbance over some paintings by Indonesian master painters Hendra Gunawan, S. Sudjojono, and Soedibio in the OHD Museum’s collections in Magelang –– haven’t left the sky of Indonesian art yet. A number of art collectors, art broker, market player and observers even grouped together in an organization called PPSI (Perkumpulan Pecinta Seni rupa Indonesia, meaning literally ”Association of Indonesian Art Lovers”), which was born amid the atmosphere of disturbance, keep trying to guard the process of uncovering the ”truth” about the matter, or at least they intend to serve the country by positioning Indonesian ”civilization” concerning art on its proper place, and they dare to say ”no” to faked maestro pieces.

Personally I as a gallery owner doubt the authenticity of some maestro paintings in the collections of OHD Museum as found in an exhibition book of the Museum. I have already stated this position clearly in my essay “The Ugly Face of Indonesian Art” in Visual Arts Magazine of the September–October 2012 edition.

Yet for me OHD (Oei Hong Djien) remains a most important lover of Indonesian art with his great contribution of activating the market for Indonesian art at home and in Southeast Asia. This is despite his blunder, blemishing his good name as a number one art collector in Southeast Asia, of not letting us access the provenance of the paintings said to be by Hendra Gunawan, S. Sudjojono and Soedibio the authenticity of which is doubted.

Regarding this case of OHD I think we do not only have reasonable doubts about the following. First, in aesthetic and artistic aspects the characters of the brushing and scratching of the paintings seem inconsistent or strangely different while the coloring gives the impression of grave immaturity. I make this remark on the basis of comparison between the works concerned and the typical works of the master painters in corresponding periods kept in the collections of Denpasar Art Center, Jakarta Museum of History, Ciputra, Jusuf Wanandi, and, in a very small number, in the homes of other credible collectors. Second, the sizes and materials for making the paintings are questionable considering the scarcity of such materials back then.
                                                                                                                                                                   
Even more important than the doubts per se, for the interest of Indonesian art the PPSI organization should invite Oei Hong Djien to sit together and make joint investigation into the doubted matters. Before the Indonesian art community not any person and not any institution – not even OHD Museum – may feel, for whatever reasons, to have the privilege of not giving explanation about where those paintings come from.

Being uncertain, it is only natural that we become consistently critical and competently confident at the same time. And in connection with the publication of a book by PPSI, it should represent a collection of notes and critical, reasoned disagreements so that the book may take the role of ”the sun” with respect to he history of Indonesian art instead of just being a means to show off shared envy and grudges as well as narcissistic tendency of those who are against OHD. In the latter case, instead of discovering and upholding what’s true, we would only hurt the sense of justice on the part of Indonesian art stakeholders in Magelang particularly and to some extent in Jogjakarta. Here lies a test of PPSI’s wisdom and exemplarity.
                                                                                                                                         
So if the book represents attempts to develop a critical perspective that may enlighten to open Indonesian art stakeholders everyone and every party involved in the publication ought to be ready to open his/her mind through dialogues or to really communicate. Furthermore, naturally, if we dare to criticize others we ought to be ready to be criticized; if we insistently ask OHD to ”lay his cards on the table”, we too, art dealers (brokers) or auction houses have to dare to do the same and collectors/investors falling victims to certain brokers ought to speak up, particularly when asked or reproached about the authenticity and provenance of other works of maestros. Say, for example, some of Nashar’s works published in a book by ASPI, edited Agus Dermawan T. and sponsored by hendrotan, and some paintings in books on Lee Man Fong and Affandi prior to the OHD Museum as well as (a lot of) other maestros ever sold and bought in private sales and auctions in various events at auction houses.

I want to say how estimable it will be if PPSI and those who intend to take part in the ”clean-up” are willing to ”lay down their cards on the table” for all to see by giving relevant data and explanation about the acquirement of the maestros in their collections. Here in this country we very frequently how people very eagerly try to clean up things from ”dirt” by using ”dirty dusters. And in turn the dirty dusters are provided by dirty hands too. That’s why until today it’s been hard to clean up Indonesia from ”dirt”.

Back to the case of OHD, what is discussed in the book to publish will give us an important lesson of how the world of Indonesian art today badly needs historical notes that are honest and comprehensive art history books that contain names of artists along with their canon works justified by credible curators and academic figures. At this point we may ask questions about the supposed roles of higher learning institutions for the arts such as ISI (Indonesian Institute of the Arts), ITB (Bandung Institute of Technology), and IKJ (Jakarta Arts Institute) responsible for educating and producing researchers and thinkers of the arts.

We also need modern and sophisticated laboratories to support studies and research in art. Then results of studies and analyses shall not depend on the index fingers, thumbs and assessment teams that work for auction houses. Instead, they’ll be the outcomes of independent academic analyses and critical studies done by reputable experts holding the master or even doctorate degree acquired from universities at home or abroad. Let’s hope that PPSI association will be willing and able to carry out such honorable task in the name of love for the country, based on which PPSI will be ever heroically championing Indonesian art in every step it takes. It needs to be borne well in mind that the association’s raison d’ĂȘtre should not be just the OHD Museum case.

Closing this note, I hope that the publication of PPSI book could remove the black clouds piling over the horizon of Indonesian art thus revealing the truth hidden as yet. Otherwise, it may at least introduce points to learn about truths to seek and in this regard the book may represent the unbroken tolling of a bell to echo in the head of anyone actively involved in Indonesian art. It will be good for us to internalize Mahatma Gandhi’s message I quote in opening this essay. As a complement here is again a quote from Gandhi: ”An error does not become truth by reason of multiplied propagation, nor does truth become error because nobody sees it" while the philosopher Sun tzu says that  truth cannot be integrated with falseness even if it is just a mistake.” 

Bumi Surabaya, 08 Juli 2013. Jam 18.30

Saturday, May 10, 2014

BUKU ZEBRA ?

BUKU ZEBRA ?
-----------------------
Oleh hendrotan
Tgl. 10 Mei 2014, jam 15.15

YG berkompetensi menentukan ASLI sebuah lukisan OLD MASTER INDONESIA itu siapa sebenarnya ?

Kalau jawabannya boleh sesama pedagang atau pemain pasar atau investor atau kolektor bahkan Art broker dengan reputasinya yang meragukan mejudgement keaslian lukisan old master tersebut, pertanyaan besarnya adalah : Seni Rupa Indonesia mau dibawa kemana ?. Sungguh dikhawatirkan demi kepentingan pasar akan mewujudkan kesalahan ulang alik yang semakin mengkristal saja dan itu akan mencederai Seni Rupa Indonesia.

Dicontohkan :

Pedagang “Kucing Hitam” membuat buku old master Indonesia dengan karya lukisannya, kemudian dibantah oleh sekumpulan pedagang “Zebra” dengan menerbitkan buku serupa ( lukisan berbeda ) dan demikian seterusnya.

Didalam hal ini sepertinya para intelektual atau pemangku kepentingan Seni Rupa Indonesia dari Dosen, Kurator, Kritikus, Seniman dan Pengamat seni jauh jauh hari sudah mengambil sikap diam dan menjaga jarak, karena mereka mengira ( memperkirakan ) ini merupakan perebutan eksistensi antar pedagang untuk kepentingan modal ekonomi* mereka sendiri.

Kalau mau bicara mengenai idealisme atau kewarasan berlogika Kan seharusnya yang berkompeten memutuskan ASLI sebuah karya lukis old master adalah Lembaga Penelitian Karya Old Master Indonesia yang kredibel, bukankah begitu ?

Tidak ada ucapan selamat bagimu pedagang “ Zebra “.

Sekian saja.



* Penjelasan modal ekonomi :
 
   Harga sebuah lukisan Old Master S. Sudjojono ukuran sedang, baru baru ini terjual di Balai  
   Lelang  Sotheby’s  seharga + 80 Milyard. Sedangkan rekor pasar di balai lelang untuk lukisan
   Lee Man Fong ukuran sedang, terjual seharga + 60 Milyard.