ART STAGE: PIZZA AND HEROD
By hendrotan
(Owner, Emmitan Contemporary Art
Gallery )
Published : October 2, 2012
In the time when Indonesia was still Dutch East Indies a grand
art exhibition was held in Paris , France .
It was called Exposition
Coloniale Internationale or
ECI for short, taking place in seven months from May through November 1931.
On that reason the
Director feels that he has the right for violating the ‘gallery-to-artist-
and-artist-to-gallery structure’ in the Indonesian case. “We are only doing
this with Indonesia , not Japan , China ,
where you have a very strong art scene,” he said.
Anyway we could be glad
to see how Indonesian and international art stakeholders² already know well that to move
Indonesian art to a higher level we obviously need in the first place improved
and complete infrastructure. And this is not as easy as making a pizza to be
peddled by motorcycles, let alone in some Herodian policy.
-------------------●●--------------------
1. Lorenzo Rudolf management should have
made introspection around the question of why
Indonesian galleries appear to decrease their interest in participating in the art fair ofSingapore ’s
Art Stage.
Indonesian galleries appear to decrease their interest in participating in the art fair of
2.Shareholders of art include artists,
galleries, curators, critics, collectors, and investors. And also art dealers,
Media, Museum, Auction House, art lovers and the department of fine art in
tertiary education with its academicians.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PIZZA DAN HERODES DI ART
STAGE
Oleh hendrotan
( Owner Emmitan Contemporary Art Gallery )
Published
: October 2, 2012
Ketika Indonesia masih bernama Hindia-Belanda, pernah ada sebuah pameran
mahabesar di Paris, Perancis. Yaitu Pameran Kolonial Internasional (Exposition
Coloniale Internationale disingkat ECI) yang diselenggarakan selama tujuh
bulan, dari Mei sampai November 1931.
Sejarah mencatat Pameran Kolonial Internasional itu sebagai suatu tontonan
kejumawaan bangsa penjajah Eropa terhadap bangsa terjajah Asia dan Afrika.
Sebagai nusantara yang masih berada di bawah kekuasaan Belanda kala itu,
Indonesia diikut-sertakan lewat sebuah anjungan bernama Paviliun Hindia-Belanda.
Di paviliun itu, Indonesia dipajang sebagai eksotika Timur yang telah
ditaklukan oleh imajinasi penjajah untuk menjadi tontonan yang menggoda selera
konsumerisme dan memuaskan mata kolonialisme Eropa. Salah satu wujudnya berupa
pertunjukkan orang-orang Papua bermain bilyar.
Apa mau dikata, masa itu adalah masa keemasan penjajah bule – kolonialisme
Eropa, tak banyak kalangan terpelajar yang menginsafinya bahwa di balik
pertunjukkan semacam itu terdapat propaganda, penghinaan, dan penistaan
terhadap harkat dan martabat kemanusiaan orang-orang Afrika dan Asia—tak
terkecuali orang-orang Indonesia (Hindia-Belanda).
Apa relevansinya kisah diatas dengan delapan puluh dua tahun kemudian—di
Art Stage, sebuah art fair internasional yang digelar di Singapura, akan
dibangun anjungan khusus seni rupa kontemporer bernama Paviliun Indonesia ?
Sebelum menjelaskan hubungan Paviliun Hindia Belandanya ECI dan Paviliun
Indonesia Art Stage, saya akan memulai ceritera Paviliun Indonesia itu ide
berasal dari Lorenzo Rudolf, seorang Italia, yang menjabat direktur Art Stage.
Sebagaimana dikemukakan Sonia Kolesnikov-Jessop (ARTINFO, 19 September 2012),
Paviliun Indonesia itu merupakan “lahan baru” berupa “pameran dalam pameran” di
dalam bangunan seluas lebih dari 1000 meter persegi. Tujuannya adalah “membantu
karya perupa Indonesia bisa terjual langsung kepada kolektor”.
Lorenzo mengakuinya dengan mengatakan bahwa itu merupakan “sebuah langkah
yang perlu diambil karena banyak perupa-perupa (Indonesia—Red.) ini tak
direpresentasi oleh galeri-galeri sehingga tak punya kesempatan memamerkan
karya-karya mereka di art fair internasional.” Padahal, “mereka sungguh sangat
kuat, benar-benar kompetitif dengan yang terbaik dari yang terbaik di Barat,”
tegas sang direktur pengganti peran galeri itu berpromosi.
Dengan begitu, sekalipun menyadari bahwa langkah itu akan merusak
infrastruktur dan bersilangan dengan peran galeri galeri Indonesia, Lorenzo
bersikeras menggelar Paviliun Indonesia di Art Stage, Singapura, pada 24-27
Januari 2013. Dalihnya, “infrastruktur galeri-galeri lokal lemah” sehingga
“kami harus melakukannya. Jika tidak, seluruh ranah seni rupa (di
Indonesia—Red.) tak akan memiliki kesempatan untuk bergerak ke tahap
selanjutnya.” Apalagi, “dengan semakin banyaknya galeri-galeri internasional
berdatangan memilih-petik perupa-perupa (Indonesia—Red.), galeri-galeri lokal
saat ini tengah menghadapi risiko tersingkir dari bagian pasar internasional
yang menguntungkan ( mungkin maksudnya percaturan bisnis senirupa ), sehingga
makin sulitlah mendapati galeri yang akan mendukung perupa pendatang baru” ¹.
Dengan dalih itu, sang direktur merasa berhak untuk menerabas struktur :
galeri kepada perupa dan perupa kepada galeri di Indonesia—suatu tindakan yang
“tak akan pernah saya lakukan di New York atau di Eropa.” Katanya, “kami hanya
melakukan ini dengan Indonesia, tidak dengan Jepang, China—di mana ranah seni
rupanya sangat kuat.”
Di atas dalih tersebut, Lorenzo mem–fatwa–kan sebagai “perubahan pasti dari
filosofi tentang bagaimana art fair bekerja”—yaitu “bukan sekadar tempat
menjual karya seni rupa, tapi juga memainkan peran penting dalam mengembangkan
ekosistem di antara perupa, galeri, dan kolektor. Karena itulah, jika galeri
gagal, maka art fair harus melangkah-masuk,” tandasnya.
Sampai di sini, sudah saatnya saya memeriksa dan mendiagnosa dengan teliti
“sesat pikiran” yang tersimpan di balik tujuan, dalih, dan filosofi sang
direktur Art Stage itu. Pemeriksaan yang cermat ini perlu saya lakukan guna
membuka diskusi lebih lanjut tentang peran dan kedudukan galeri dan art fair
yang berlangsung selama ini.
Betapa tidak, seluruh keterangannya, jika kita telan mentah-mentah, akan
menjadi kesalah-kaprahan yang dibenarkan, tak ubahnya pizza yang membangkitkan
selera makan, tapi sesungguhnya basi. Dengan begitu, agar terhindar dari “pizza
basi” itu, kita perlu bertanya: benarkah Paviliun Indonesia didirikan di Art
Stage akan berhasil mengatasi lemahnya peran galeri Indonesia dalam
mempromosikan secara internasional perupa-perupa Indonesia? Jawabannya, masih
harus dibuktikan nanti ketika Art Stage telah digelar pada 24-27 Januari 2013. Argumentasi
apa pun tentang hal itu, bagi saya, akan terbaca sebagai sekadar retorika
doang, karenanya harus terbukti dengan fakta / data akurat jumlah karya yang
terbeli ( sebagai koleksi ) kolektor internasional atau setidaknya yang laku terjual—bukan kata-kata.
Mungkin Lorenzo perlu mengetahui data – nyata (
terdokumen ) bahwa pada setiap bulannya dan setiap tahunnya berapa pameran yang
digelar oleh galeri galeri di Indonesia dan berapa jumlah karya yang
dipamerkan, berlanjut berapa banyak yang terbeli oleh kolektor, investor dan
pemain pasar barang seni ( art dealer ).
Karena itulah, segala pernyataannya yang buruk tentang galeri-galeri di
Indonesia, dikwatirkan akan memunculkan pertanyaan dari kalangan medan sosial
senirupa internasional ( Art World ), berupa # 1. Apakah ini merupakan
kesimpulan tergesa gesa dari seorang profesional atau seorang idiot ? # 2.
Bukankah ini kesesatan berfikir yang akan menyengsarakan bagi pengikutnya ?
Walau masih saya setujui bahwa infrastruktur galeri—juga infrastruktur seni
rupa di Indonesia—memang masih belum baik ( lengkap, bagus dan tertata ). Tapi,
saya kira, kenyataan itu tidak bisa dijadikan alasan, apalagi pembenaran, untuk
menerabas struktur galeri kepada perupa dan sebaliknya. MENGAPA? Penerabasan
itu, justru akan semakin merusak infrastruktur seni rupa Indonesia yang sedang
berproses penyesuaian di ekosistem dan habitatnya. Celakanya lagi, bilamana
perusakan infrastruktur itu akibat ( didalangi ) tangan tangan hitam yang
berpenampilan sok peduli dengan masa depan seni rupa Indonesia, alih-alih
manipulator yang dapat dipercaya, tak ubahya Lucifer berwujud paderi.
Saya yakin, siapa pun tidak akan bergumam seolah-olah Herodes dari Roma
akan menyelamatkan nasib seni rupa Indonesia dari kemalangan di masa kini dan
masa mendatang. Dan saya yakin lagi, siapa pun tak akan pongah bak penjaja
pizza yang mampu menjajakan karya-karya perupa Indonesia sampai laku hanya
dalam waktu tiga hari, yang benar saja, Fratello !
Menyambung tulisan didepan mengenai letak–relevansi Paviliun Hindia
Belanda ECI dan Paviliun Indonesia Art Stage, menurut saya adalah pada kesamaan
semangat untuk memamerkan karya seni, yang ECI menyombongkan keberhasilannya
memamerkan keunikan–karya seniman negara jajahannya, sedangkan yang Art Stage
lewat Indonesia Paviliun dengan uniknya menyombongkan keberhasilan mengacau
infrastruktur senirupa di negara yang bukan jajahannya.
Namun demikian, kita bisa berbesar hati bahwa pemangku kepentingan senirupa ² Indonesia dan internasional telah mengerti,
bahwa untuk menggerakkan seni rupa Indonesia ke tahap yang lebih tinggi tentu
membutuhkan kelengkapan infrastruktur yang baik terlebih dahulu. Dan ini, tidak
semudah membuat seloyang pizza yang dijajakan para penunggang motor keliling,
apalagi dengan kebijakan ala Herodes, amit amit Pizza dan Herodes di Art Stage.
-------------------●●--------------------
Semua keterangan atau pernyataan yang berada dalam tanda petik, baik
dari Sonia Kolesnikov-Jessop maupun Lorenzo Rudolf, diambil dari
tulisan Sonia Kolesnikov-Jessop, “The Art Fair Turns Dealer at Art Stage
Singapore to Promote Indonesia Art,” dalam ARTINFO, 19 September 2012.
Catatan kaki
:
1.Seharusnya
management Lorenzo Rudolf berintrospeksi: apa sebabnya
galeri-galeri Indonesia tampak makin tak berminat
mengikuti art fair Art Stage Singapore ?
2.Pemangku
Kepentingan Senirupa : Perupa, Galeri, Kurator, Kritikus, Kolektor, Investor,
Pemain pasar barang seni ( art dealer ), Media, Museum, Balai lelang,
Pecinta senirupa, Perguruan Tinggi jurusan Senirupa dan para akademisinya.
No comments:
Post a Comment